Terjun ke Budaya Lokal: Mengapa Cultural Immersion Jadi Tren Wajib 2025?
Jakarta, WISATA – Tahun 2025 diprediksi akan menjadi momentum penting bagi tren perjalanan berbasis budaya atau yang dikenal dengan istilah cultural immersion. Fenomena ini muncul sebagai respons terhadap perubahan perilaku wisatawan global yang kini lebih mencari pengalaman otentik dibanding sekadar kunjungan biasa. Mengapa cultural immersion begitu diminati, dan apa yang mendorong tren ini menjadi “wajib” di kalangan pelancong dunia?
Menurut laporan terbaru dari Global Travel Insights 2025, lebih dari 70 persen wisatawan muda, khususnya dari generasi milenial dan Z, menyatakan bahwa mereka lebih memilih perjalanan yang memungkinkan interaksi langsung dengan komunitas lokal dibandingkan mengunjungi tempat-tempat wisata populer. Data ini menandakan pergeseran besar dalam industri pariwisata global yang kini semakin menekankan pada pengalaman yang bermakna.
“Wisatawan tidak lagi puas hanya dengan melihat-lihat, mereka ingin merasakan bagaimana hidup sebagai warga lokal, bahkan jika itu hanya untuk sementara waktu,” ujar Rina Kusuma, pakar pariwisata budaya dari Indonesian Tourism Research Center, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Mengapa Cultural Immersion Begitu Menarik?
Cultural immersion menawarkan pengalaman yang lebih dalam dibandingkan sekadar berlibur. Wisatawan diajak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat setempat, mulai dari belajar memasak makanan tradisional, mengikuti upacara adat, hingga tinggal bersama keluarga lokal.
Menurut Rina Kusuma, ada beberapa alasan utama mengapa tren ini semakin menguat:
1. Mencari Autentisitas Dalam era digital saat ini, foto destinasi wisata populer bisa ditemukan dengan mudah di internet. Namun, pengalaman hidup bersama masyarakat lokal memberikan cerita unik yang tidak bisa direplikasi atau diunduh secara online.
2. Meningkatkan Empati dan Pemahaman Lintas Budaya Berinteraksi langsung dengan budaya berbeda membantu memperluas perspektif dan meningkatkan rasa toleransi. Hal ini sangat relevan di dunia global saat ini yang membutuhkan lebih banyak pemahaman antarbudaya.
3. Memberi Dampak Positif bagi Komunitas Lokal Program cultural immersion sering kali melibatkan kontribusi ekonomi langsung ke komunitas. Wisatawan membeli produk lokal, menggunakan jasa lokal, dan ikut melestarikan tradisi yang ada.
Negara dan Destinasi yang Mengembangkan Program Cultural Immersion
Beberapa negara sudah mengambil langkah konkret untuk mengembangkan program ini. Jepang, misalnya, menawarkan home stay di desa-desa pedesaan, di mana wisatawan dapat belajar membuat kerajinan tradisional atau bertani. Indonesia pun tak mau ketinggalan. Daerah seperti Bali, Yogyakarta, Sumba, dan Toraja kini aktif menawarkan paket wisata berbasis budaya.
Menurut Ardi Pranata, Kepala Bidang Pemasaran Budaya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Indonesia memiliki potensi besar dalam tren ini.
“Dengan ribuan suku bangsa dan ragam tradisi, Indonesia adalah surga untuk wisata cultural immersion. Kami mendorong pengembangan program-program otentik yang mempertemukan wisatawan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat lokal,” ujar Ardi dalam jumpa pers pekan lalu.
Tantangan di Balik Cultural Immersion
Meskipun menjanjikan, tren ini juga memiliki tantangan. Salah satunya adalah menjaga keseimbangan antara menawarkan pengalaman kepada wisatawan tanpa mengeksploitasi budaya lokal. Ada kekhawatiran bahwa jika tidak dikelola dengan baik, cultural immersion bisa berubah menjadi pertunjukan buatan yang kehilangan keaslian.
“Edukasi kepada wisatawan dan pelaku lokal sangat penting. Kunci utamanya adalah rasa saling menghormati dan otentisitas,” tambah Rina Kusuma.
Selain itu, faktor bahasa, perbedaan adat, dan kesiapan infrastruktur juga menjadi tantangan yang harus diantisipasi dalam pengembangan program cultural immersion.
Melihat Masa Depan: Cultural Immersion Bukan Lagi Pilihan, Tapi Kebutuhan
Seiring berkembangnya dunia pariwisata pasca-pandemi, wisatawan mencari sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar liburan singkat. Mereka mencari keterhubungan, makna, dan pengalaman transformatif. Di sinilah cultural immersion menemukan relevansinya.
Konsultan pariwisata global, Thomas Eldridge, dalam laporan “Future Travel Trends 2025”, menyebutkan bahwa perjalanan berbasis budaya akan menjadi standar baru dalam industri pariwisata.
“Dalam lima tahun ke depan, konsep perjalanan akan bergeser dari ‘berwisata’ menjadi ‘menjadi bagian’. Wisatawan akan menginginkan pengalaman di mana mereka bukan hanya melihat budaya, tapi hidup di dalamnya,” ungkap Eldridge.
Cultural immersion bukan hanya tentang mencicipi makanan lokal atau mengenakan pakaian tradisional untuk berfoto. Ini adalah tentang membuka hati, menerima perbedaan, dan merasakan dunia dari perspektif yang berbeda.
Jadi, bila Anda merencanakan perjalanan di tahun 2025, jangan hanya mengunjungi destinasi wisata terkenal. Beranikan diri untuk terjun lebih dalam ke kehidupan masyarakat lokal. Sebab, di sanalah Anda akan menemukan makna sejati dari sebuah perjalanan.
Sumber: wisata.viva.co.id