Reportase
Diskusi Online Putusan MK : Spa sebagai Bagian dari Pelayanan Kesehatan Tradisional
Rabu, 15 Januari 2024
Spa merupakan salah satu wisata kebugaran yang baru-baru ini mengalami perubahan kebijakan menjadi pelayanan kesehatan tradisional atas dikabulkannya perkara tersebut dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 19/PUU-XXII/2024 mengenai Pasal 55 ayat (1) huruf I UU No. 1 Tahun 2022, serta merujuk kepada kebijakan terkait pelayanan Kesehatan tradisional dalam UU No. 17 Tahun 2023 dan PP No. 28 Tahun 2024. Berdasarkan kebijakan tersebut, maka spa sebagai pelayanan kesehatan tradisional memiliki dasar hukum yang jelas, sehingga spa sebagai perwujudan dari layanan medical wellness dapat terus dikembangkan secara berkelanjutan.
Pengantar disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D bahwa spa saat ini sudah memiliki dasar hukum yang jelas atas dikabulkannya sebagian atas perkara spa sebagai pelayanan Kesehatan tradisional dalam Keputusan MK. Dalam webinar ini, akan dibahas implikasi putusan MK, pemenuhan kebutuhan SDM, hingga prospek spa sebagai bagian dari pelayanan kesehatan tradisional untuk mendukung medical wellness. Pelayanan kesehatan tradisional Indonesia harus sudah mengikuti perkembangan yang ada di luar negeri, salah satunya Thailand. Hal tersebut termasuk variasi layanan, hingga pengaturan dan pengadaan SDM terkait sertifikasi dan kompetensi SDM yang dibutuhkan untuk melakukan pelayanan tersebut.
Implikasi putusan MK dipaparkan oleh Dr. M. Asyhadi, S.Kes., SE., M.Pd bahwa yang menjadi kendala saat ini diantaranya pemenuhan SDM terkait kompetensi, kewenangan, standarisasi dan sertifikasi SDM. Berdasarkan putusan tersebut, maka SDM untuk spa mengalami perubahan dari yang berawal dibawah kewenangan Kementerian Pariwisata akan beralih dibawah kewenangan Kemenkes. Terkait regulasi dalam sektor kesehatan, usaha spa memang sudah banyak mengalami perubahan dari UU No. 23 Tahun 1992 hingga UU No. 17 Tahun 2023 Pasal 22 ayat 1 terkait penyelenggaraan upaya kesehatan Huruf W terkait dengan pelayanan kesehatan tradisional dan PP No. 28 Tahun 2024. Sedangkan dalam sektor pariwisata, spa telah diatur mulai dari UU Pariwisata No. 10 Tahun 2009 Pasal 14. Pengajuan perkara spa sebagai Kesehatan tradisional sudah diajukan sejak 2022, sampai kemudian diputuskan pada 3 Januari 2025. Pengajuan tersebut merujuk pada UU No. 1 Tahun 2022 Pasal 55 ayat (1) huruf I dan Pasal 58 terkait pajak, namun dalam pengabulan putusan oleh MK hanya dikabulkan sebagian yaitu untuk Pasal 55. Terkait standarisasi SDM, landasan kebijakan merujuk pada Perpres No. 68 Tahun 2022, Permendikbud No. 3 Tahun 2020, Peraturan BAN-PT No. 2 dan No. 4, Kepmenaker No. 333 Tahun 2020, serta PP No. 40 Tahun 2021. Adapun standarisasi pendidikan, ditetapkan standar kompetensi kerja dan standar kompetensi profesi atas rekomendasi Kemenkes, namun untuk standar usaha tetap oleh Kementerian Pariwisata terkait Wellness & Medical Tourism. Selain itu, juga terdapat standar untuk prodi pengobatan tradisional, sistem sertifikasi, sistem registrasi, serta kolegium. Untuk standarisasi pelayanan, maka harus dilakukan keseragaman persyaratan, sistem, mekanisme, prosedur, jangka waktu pelayanan, biaya, produk, hingga penanganan terhadap pengaduan, saran, dan masukan.
Berikutnya, prospek spa sebagai bagian dari pelayanan kesehatan tradisional untuk mendukung medical wellness dijelaskan oleh dr. M.M.V Lianywati Batihalim, Sp.Ok., M. BIOMED AAM., Dipl. CIDESCO SPA., Dipl. CIBTAC SPA. Hidroterapi, aromaterapi, massage merupakan 3 komponen penting yang harus ada di dalam spa. Tren saat ini, spa sebagai layanan kebugaran semakin banyak dinikmati oleh masyarakat pasca pandemi COVID-19 dan produk spa terus dikembangkan menggunakan bahan alami dan organik. Manfaat spa berupa relaksasi, rejuvinasi, dan revitalisasi dikembangkan sesuai dengan ketersediaan SDM, perkembangan teknologi, serta variasi layanan yang dimiliki. Spa sebagai bagian dari layanan wellness mendefinisikan bahwa setiap pasien harus memiliki journey dan kegiatan yang disesuaikan dengan kompetensi terapis dan variasi layanan yang dimiliki, serta dipengaruhi oleh faktor spiritual dan lingkungan. Untuk mencapai hasil yang optimal, maka harus dilakukan peninjauan dari akar masalah masing-masing individu untuk mengeliminasi faktor-faktor penyebab masalah tersebut.
Faktor-faktor tersebut terbentuk dalam hubungan antara pikiran, tubuh dan jiwa, dimana fungsi-fungsi organ, saraf, hormon dalam tubuh individu akan mempengaruhi satu sama lain. Kesadaran individu atas keberhasilan perawatan yang dilakukan atas dirinya merujuk pada wellness paradigm sehingga pelayanan spa sebagai pelayanan kesehatan preventif harus dilakukan melalui integrasi dengan kehidupan pasien sehari-hari, dimana jembatan integrasi tersebut harus saling berkolaborasi secara komprehensif antar tingkatan kualitas kompetensi SDM yang dimiliki. Untuk mencapai outcome pasien yang lebih optimal, dapat dilakukan kolaborasi antar profesi dengan pendekatan langsung kepada pasien melalui anamnesa oleh dokter sekaligus saat pasien dilakukan layanan pijat, kemudian dokter dan terapis dapat berkonsultasi satu sama lain terkait kondisi pasien hingga perencanaan perawatan holistik berikutnya, namun hal tersebut tentu membutuhkan durasi pelayanan yang lebih lama tiap pasien. Dalam hal pengembangannya, spa masih memiliki tantangan berupa biaya operasional, perubahan tren konsumen dan regulasi, sehingga harus dikembangkan strategi berupa penawaran layanan yang harus berkualitas tinggi, pemenuhan kompetensi SDM, branding, hingga adaptasi terhadap tren.
Spa sebagai pengobatan tradisional mengikuti UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 dibahas oleh Prof. Laksono. Regulasi lainnya seperti PP No. 28 Tahun 2024 juga harus menjadi landasan penyelenggaraan layanan tersebut. Pengobatan tradisional tidak hanya dilaksanakan untuk fungsi kuratif, namun juga dapat dilakukan untuk fungsi rehabilitatif dan paliatif. Berdasarkan regulasi tersebut, maka pelayanan spa dapat dilakukan sinergi bersama dengan pelayanan kesehatan, sehingga tempat praktik spa juga harus diatur oleh Kementerian Kesehatan, seperti dalam PP No. 28 Tahun 2024 Pasal 485, Dimana pelayanan kesehatan tradisional dapat dilakukan secara praktik mandiri, Puskesmas, RS, fasyankes tradisonal, serta fasyankes lain yang ditetapkan oleh Menteri. Selain itu implikasi hukum terkait pajak kemudian dirujuk juga kepada organisasi Dinas Kesehatan. Terkait pemenuhan SDM yang merujuk kepada PP No. 28 Tahun 2024, maka pelayanan kesehatan tradisional dilakukan oleh tenaga kesehatan tradisional melalui pendidikan formal, atau tenaga lain dan penyehat tradisional yang memiliki kompetensi pelayanan kesehatan tradisional. Berdasarkan hal tersebut, harapannya dibutuhkan pembahasan lebih lanjut terkait kurikulum pendidikan untuk terapis spa melalui pendidikan formal di Perguruan Tinggi. (Bestian Ovilia Andini)