Wisata Tidur Menyenangkan, tapi Bukan Solusi Masalah Tidur
Tren wisata tidur sebenarnya sudah beberapa kali menggeliat. Jangan dianggap sebagai solusi permanen masalah tidur.
tirto.id – Kini, berlibur atau berwisata bukan hanya soal jalan-jalan ke tempat bagus atau bersenang-senang belaka. Setidaknya, begitulah tren yang teramati dalam laporan HTF Market Intelligence yang diterbitkan via LinkedIn pada Oktober 2023 lalu. Laporan itu menyebut bahwa saat ini makin banyak turis yang sengaja berlibur dengan hanya menginap di sebuah hotel untuk mendapatkan tidur yang berkualitas.
Dari 2023 lalu hingga 2028 mendatang, menurut HTF, pasar wisata tidur (sleep tourism) diperkirakan bakal tumbuh hingga 8 persen. Nilai ekonominya? Diperkirakan mencapai US$400 miliar atau sekitar Rp6,4 triliun. Pasar ini merupakan bagian penting dari wisata kesehatan (wellness tourism) yang nilainya juga semakin lama semakin besar.
Pada Oktober 2023, Fortune juga mewartakan bahwa nilai pasar wisata kesehatan telah mencapai angka US$814 miliar (kurang-lebih Rp13 triliun). Menurut pakar dari Divisi Kesehatan Tidur Harvard, Rebecca Robbins, hal itu menunjukkan bahwa preferensi para wisatawan dalam menikmati masa liburannya tengah mengalami pergeseran.
“Para wisatawan sekarang lebih menghargai tidur yang berkualitas ketika mereka berlibur. Sudah tidak zaman lagi orang merasa capek setelah liburan,” ujar Robbins, dilansir Fortune.
Pernyataan Robbins itu diperkuat dengan hasil sebuah survei yang dilakukan oleh produsen koper mewah, Carl Friedrik. Dari 1.095 orang Amerika yang disurvei, lebih dari 94 persen menyatakan bahwa mereka lebih memilih slow travelling. Dengan kata lain, liburan dengan jadwal padat mengunjungi berbagai atraksi wisata sudah mulai kurang diminati.Fasilitas Penunjang Wisata Tidur
Para pelaku industri pariwisata rupanya cukup menyadari pergeseran tren tersebut dan tanggap meresponsnya.
Conrad Bali (bagian dari jaringan hotel Hilton) di Tanjung Benoa, misalnya, menyediakan sebuah fasilitas berbayar bernama SWAY. Fasilitas ini memungkinkan pengunjung menikmati terapi berdurasi 60 menit sembari tidur di atas hammock.
Ada pula hotel yang menyediakan fasilitas kasur yang bisa diatur suhunya. Ada lagi hotel yang kasurnya dilengkapi kecerdasan buatan yang bisa mengatur titik tekanan. Pun ada hotel yang menyediakan kamar kedap suara, menyediakan hingga sepuluh pilihan bantal, hingga menyediakan layanan hipnoterapi.
Semua itu demi memenuhi keinginan para tamunya yang mendambakan kesempatan tidur berkualitas.
Selain fasilitas fisik, para pelaku pariwisata pun berlomba menyediakan bantuan profesional untuk tidur berkualitas. Salah satu hotel dari jaringan Six Senses yang berlokasi di Uluwatu, Bali, misalnya, memiliki program khusus untuk tidur. Selama tiga hingga sepuluh hari, pengunjung bisa mendapatkan bantuan tidur berkualitas berupa pelacak tidur sampai bimbingan dari dokter.
Menggeliatnya ceruk wisata tidur ini tidak bisa dilepaskan dari semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya tidur bagi kualitas hidup.
“Dulu, tidur dianggap sebagai hal paling membosankan yang bisa dilakukan saat berlibur. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir, kita semakin sering bicara soal pentingnya tidur bagi kesehatan. Oleh karena itu, tidur yang berkualitas kini bukan cuma nilai plus sebuah hotel, melainkan inti dari industri itu sendiri,” ujar Kaushik Vardharajan, pengajar dari Boston University, dikutip dari New York Times.
Meski begitu, menurut pakar keramahtamahan (hospitality) dari New York University, Bjorn Hanson, wisata tidur sebenarnya tidak muncul baru-baru ini saja. Industri perhotelan pun sebenarnya sudah sering melewati pasang dan surut tren wisata tidur sejak lama.
“Ini sudah kali ketujuh atau kali kedelapan hal seperti ini jadi perbincangan utama (sejak pertengahan 1980-an),” ujar Hanson, juga dikutip dari New York Times.
Bahkan, pada dekade 1960-an, jaringan hotel mewah sudah menyediakan berbagai pilihan menu bantal untuk memenuhi kenyamanan tidur pengunjungnya. Mereka juga kemudian mulai menawarkan alat bantu tidur lainnya, seperti gorden yang tidak tembus cahaya sampai mesin white noise.
Kesadaran Baru
Kendati tren wisata tidur ini sudah terjadi berulang kali, ada hal spesifik pada tren kali ini yang membuatnya “khas”, yakni pengaruh Pandemi COVID-19.
Dalam wawancara dengan CNN, Robbins menjelaskan bahwa banyak orang yang merasakan penurunan kualitas tidur sejak pandemi melanda. Di saat bersamaan, pandemi juga membuat orang semakin sadar akan pentingnya hidup sehat.
“Ada perubahan kesadaran secara kolektif akan pentingnya kesehatan dan kualitas hidup,” ujar Robbins.
Orang pun, pada akhirnya, semakin sadar bahwa beberapa masalah mental—mulai dari kecemasan, depresi, mood rendah, sampai mood swing—bisa terjadi karena kurangnya durasi serta kualitas tidur.
“Kurangnya tidur dapat berpengaruh buruk pada tubuh serta kesehatan mental Anda,” kata hipnoterapis Malminder Gill kepada CNN.
Kualitas tidur sebenarnya bukan satu-satunya hal yang mendapat perhatian lebih saat Pandemi COVID-19. Kualitas asupan makanan pun demikian. Itulah sebabnya, sejak 2021, menurut data Good Food Institute, penjualan makanan berbasis tanaman (plant-based food) tumbuh tiga kali lebih besar dibandingkan penjualan makanan biasa.
Di satu sisi, tumbuhnya kesadaran akan pentingnya tidur berkualitas serta baiknya tanggapan industri perhotelan terhadapnya adalah hal baik. Namun, di sisi lain, tidak semua masalah tidur lantas bisa diselesaikan dengan menginap di hotel mewah dan mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Sebab, buruknya kualitas tidur adalah sebuah siklus.
“Tidur yang buruk akan membawa Anda pada tidur yang buruk selanjutnya. Seperti itu terus,” ujar Joseph M. Dzierzewski, wakil presiden bidang penelitian dan pengembangan National Sleep Foundation, dilansir New York Times.
“Mungkin, apabila terjebak dalam siklus itu, Anda memerlukan hard reset—salah satunya dengan merasakan tidur nyenyak di hotel mewah. Akan tetapi, tanpa mengetahui apa yang membuat Anda masuk dalam siklus tersebut, saya meragukan manfaat jangka panjang dari wisata tidur ini,” tambahnya.
Pendapat serupa juga disampaikan Jing Wang dari Pusat Tidur Rumah Sakit Mount Sinai, New York. Menurutnya, untuk mendapatkan tidur berkualitas, seseorang perlu tahu apa yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak, entah itu sleep apnea atau masalah psikologis.
Menurut Wang, wisata tidur masuk akal karena ia membuat seseorang bisa keluar dari lingkungan lama yang membuatnya susah tidur. Dengan begitu, si individu masuk ke lingkungan yang memberi dukungan untuk bisa tidur nyenyak.
Namun, selama masalah yang ada di kehidupan sehari-hari belum terselesaikan dengan baik, kualitas tidur tidak akan pernah meningkat secara signifikan.
Oleh karena itu, membangun rutinitas tidur memang seharusnya dimulai dari rumah. Rajin berolahraga, menjaga asupan makan, menjaga kebersihan kamar, mengatur temperatur kamar, dan menjauhkan distraksi-distraksi seperti ponsel agaknya akan jauh lebih efektif (dan tentu saja lebih murah) untuk mengatasi masalah tidur Anda.
Sumber: tirto.id