Reportase
Webinar Wellness-Based Diabetes Management:
Integrating Acupuncture, Nutrition, and Exercise
Kamis, 26 Juni 2025

Webinar dimulai dengan keynote speech yang membahas persiapan SDM Kesehatan berkompetensi Medical Wellness untuk menjawab tantangan DM oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D, dimana pengobatan non farmakologis untuk penderita DM Tipe 2 adalah akupunktur, yang termasuk dalam pengobatan tradisional. Dalam layanan ini, perlu disiapkan strategi integrasi antara pengobatan tradisional dan modern hingga bagaimana pendanaan termasuk SDM yang perlu disiapkan. Contoh penerapan wellness yang sudah ada yaitu sudah berkembangnya wellness spa, yang saat ini sudah ada regulasinya. Meninjau dari contoh tersebut, integrasi antara pelayanan kesehatan tradisional dengan pelayanan kesehatan konvensional saat ini mengacu pada regulasi PP No. 28 Tahun 2024 Pasal 482. Berdasarkan regulasi ini, telah disinggung penetapan kebijakan sdm, serta penetapan kebijakan produk pelayanan kesehatan tradisional, hingga promosi dan potensi pelayanan kesehatan tradisional. Selain itu, dalam regulasi tersebut juga disinggung terkait Evidence Based Medicine sebagai pelayanan medis personalisasi untuk tiap pasien, dimana setiap perawatan yang akan dilakukan kepada pasien harus diperhatikan risiko yang mungkin terjadi. Terkait sumber pendanaan, pasca pandemi COVID 19 BPJS saat ini mengalami deficit, meski saat pandemi terjadi surplus karena jarangnya pasien yang datang ke RS. Hal tersebut juga tidak bisa diprediksikan untuk masa depan apakah akan terus defisit atau bisa surplus. Masalah pendanaan tersebut tentunya berpengaruh terhadap pembiayaan dari pasien untuk wellness apakah pasien bisa membayar out of pocket atau menggunakan askes komersial, dimana pembiayaan tersebut nantinya akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana kualitas dari SDM untuk memberikan pelayanan wellness terbaik untuk pasien. Persiapan SDM tersebut perlu dipertimbangkan bagaimana kompetensi atau sertifikasi yang dimiliki, bagaimana persiapan kolegium untuk mewadahi SDM tersebut, hingga siapa SDM yang bertugas untuk mencari dana dan siapa yang bertugas sebagai promotor kesehatan.

Paparan berikutnya disampaikan oleh dr. Aris Wibudi, Sp. PD-KEMD, Ph.D. terkait dengan pentingnya mengenali kapasitas metabolic, dimana kapasitas metabolic seseorang terbagi menjadi kapasitas normal, obesitas sentral, sindrom metabolic hingga Diabetes Tipe 2. Kapasitas metabolik ini didasari oleh kondisi metabolik, dimana kondisi tersebut bisa berbeda tiap individu, sehingga perawatan yang akan diberikan juga harus disesuaikan untuk masing-masing (personalisasi). Hal tersebut mengacu konsep dasar bahwa asupan kalori dapat dilihat berdasarkan berat badan ideal, indeks glikemik, serta komposisi makronutrien yang sebenarnya adalah untuk orang yang sehat, bukan pasien DM, sehingga untuk pasien DM Tipe 2 dapat dilihat dari respons glikemik yang didasari oleh kemampuan kemampuan individu dalam memproses makanan. Respons glikemik tersebut dapat digambarkan dalam rumus matematis, dimana respons glikemik didapatkan dari fungsi dari asupan dibagi dari kondisi metabolik, yang direfleksikan dari kapasitas metabolik. Pada individu yang normal, puncak gula darah tertinggi adalah 1 jam sesudah makan, dimana hal tersebut disebut dengan postprandial glucose spike yang menggambarkan respons glikemik seseorang.

Akupunktur untuk Diabetes Melitus berikutnya disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Koosnadi Saputra, Sp.Rad (K), dimana akupunktur dapat digambarkan menjadi 5 elemen dalam interaksi organ, yaitu organ liver menggambarkan elemen kayu, lambung dan pancreas menggambarkan elemen bumi, usus menggambarkan elemen api, usus besar menggambarkan elemen logam, dan otak menggambarkan elemen air. Jika jarum akupunktur ditusuk pada jaringan tubuh, timbul reaksi lokal dimana dorsal root ganglion akan mengirimkan sinyal ke seluruh tubuh melalui meridian. Terkait efektivitas terapi akupunktur untuk DM, sebelumnya telah ada penelitian terkait pengukuran kelistrikan jaringan titik akupunktur yang berkorelasi dengan fungsi organ pancreas. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa akupunktur dapat menurunkan sekresi sitokin, merangsang anti inflamasi, serta membantu regulasi sistem imun. Namun, akupunktur ini bukan terapi utama DM, hanya sebagai terapi komplementer, tapi dapat digunakan untuk komplikasi DM yang harus dikombinasikan dengan terapi lainnya. Dalam hal ini, DM Tipe 2 tidak dapat disembuhkan, namun bisa dilakukan remisi dengan pengaturan pola makan sehat dan konsisten, olah raga rutin dan teratur, serta sering puasa.

Tanjung Subrata, M.Repro., ABAARM selanjutnya menjelaskan resistance training for DM, dimana aktivitas fisik dapat mencegah DM Tipe 2 karena adanya kapasitas biogenesis mitokondira dan meningkatkan mitokondrial oxidative. Aktivitas fisik tersebut bisa dilakukan salah satunya dengan latihan cardio, aerobic, yoga, pilates. Peningkatan lean muscle mass juga dapat dilakukan karena muscle mass yang lebih besar berarti penyimpanan glukosa juga lebih besar, sehingga dapat digunakan sebagai reservoir dari gula darah. Selain itu, reprogamming metabolic juga memicu aktivasi AMPK dan sensor metabolic lainnya, yang dapat mengubah metabolic yang lebih baik dan menjadikan otot sebagai tempat menyimpan gula darah dan lemak yang efektif. Kontrol glikemik juga dapat memicu post-exercise energy expenditure yang dapat mendukung kesehatan metabolik. Namun, metabolism energi tersebut akan berbeda didasarkan pada durasi, intensitas dan tipe muscle fiber yang digunakan, dimana tipe II Muscle fibers mempunyai densitas kapiler dan lebih sensitif terhadap insulin. Dalam hal ini, training yang dilakukan bisa dengan intensitas sedang hingga tinggi, seperti lari 400 meter. Berdasarkan penelitian sebelumnya, dilakukan aerobic sebagai program prolanis dengan tambahan resistance training 15 menit sebelum gerakan aerobic.

Webinar ditutup dengan paparan terkait dengan diet pada penderita DM yang disampaikan oleh Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Akp, Sp.GK. Manajemen penderita DM meliputi edukasi dan dukungan, Medical Nutrition Therapy, aktivitas fisik, serta terapi obat. Tujuan dari terapi nutrisi untuk pasien diabetes yaitu untuk meningkatkan A1C, tekanan darah dan level kolesterol yang harus dipelihara dan ditinjau secara terus menerus. Terapi nutrisi dapat dilakukan dengan pengukuran kebutuhan energi basal, teknik broca, atau menggunakan BMI. Detail nutrisi yang dibutuhkan antara lain karbohidrat 45-60% dengan asupan maksimal sucrose maksimal 5%, protein 10-20%, lemak 20-25%, cukup vitamin dan mineral, serta natrium <1500 mg/hari. Dalam perhitungan berat badan, dapat menggunakan BB Ideal atau BB normal yang diukur dengan BMI yaitu BB dibagi dengan kuadrat dari TB. Prinsip asupan karbohidrat berdasarkan medical care diabetes menunjukkan bahwa penggunaan glycemix index (GI) dan glycemic load (GL) mempunyai manfaat untuk maintain DM, dimana makin rendah GL maka gula yang terbentuk di darah juga akan semakin sedikit. Cut off GI dikatakan baik jika <56, sedangkan untuk GL yang dianggap rendah yaitu <10. Upaya yang baik untuk menurunkan GI bisa didapatkan dari diet local, yang dinilai lebih baik dari diet mediteranian. Selain itu, juga dapat dilakukan vegan diet, dimana vegan diet ini telah terbukti dapat menurunkan angka kematian. Intermittent fasting atau puasa Senin Kamis juga disarankan untuk upaya diet, namun harus didukung dengan monitoring dan pembatasan makan. (Bestian Ovilia Andini)
Tags: SDG 17, SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan, SDG 3, SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera