Reportase
Diskusi Online : Menjawab Tantangan untuk Harga, Produk & Daya Saing dalam Pengembangan Medical Tourism di Indonesia
Kamis, 15 Mei 2025

Diskusi dibuka dengan pengantar yang disampaikan pleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D bahwa Pemerintah telah menyadari pentingnya pertumbuhan ekonomi yang cepat dan telah merumuskan kebijakan terintegrasi dan kolaborasi dengan konsil/kolegium untuk menangani masalah kesehatan di Indonesia. Pada dasarnya, industrial concept dari wellness tourism bisa menggunakan analisis Porter Five Forces untuk mengidentifikasi pasar dan harga. Mengacu pada layanan wellness tourism yang telah dikembangkan di Bangkok, Thailand, pemilihan tempat strategis untuk fasilitas pelayanan kesehatan merupakan salah satu daya tarik tersendiri bagi masyarakat, yaitu terletak di salah satu pusat perbelanjaan ICON SIAM. Adanya inovasi layanan kesehatan seperti contoh tersebut harapannya dapat dijadikan suatu potensi peluang untuk diadopsi di Indonesia.

Berikutnya, dr. Hermes Santosa, M.A.R.S. menyampaikan paparan terkait strategi BIMC Hospital dalam mengembangkan keunggulan pelayanan dan fasilitas kesehatan yang berskala internasional, dimana kesuksesan BIMC saat ini banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal dan konsistensi dalam operasional layanan. Cost saving, short waiting time dan better quality merupakan manfaat yang diharapkan dari pasien medical tourism. Dalam mengembangkan layanan medical tourism maka harus mendengarkan keinginan pelanggan, serta harus memahami identifikasi pasar yang mana yang akan dituju, apakah termasuk outbond tourism, atau inbond tourism. Outbond tourism ini merupakan WNI yang mencari layanan medical tourism di luar negeri, sedangkan inbound tourism merupakan warga asing yang mencari layanan medical tourism di Indonesia dan pasien domestik dari luar wilayah fasilitas layanan kesehatan terkait. Dengan mapping target pasar tersebut, maka usaha untuk mengembangkan layanan medical tourism nantinya akan berbanding lurus dengan pendapatan yang bisa didapatkan. Untuk mengembangkan layanan medical tourism di Indonesia, tentu tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan internal, dukungan pemangku kepentingan juga sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia saat ini telah mengakomodir beberapa regulasi yang diadopsi dari standar internasional ke dalam kebijakan di Indonesia seperti Permenkes.
Implementasi medical tourism yang telah dilakukan oleh BIMC Hospital yaitu adanya cosmedic center dengan variasi produk layanan yang didukung dengan fasilitas berbagai tipe kamar serta villa untuk pasien. Kunci sukses dari BIMC merupakan kualitas dokter, fasilitas, branding, dan didukung oleh akreditasi RS. Selain itu, Bali merupakan wilayah pariwisata dengan perputaran ekonomi yang didominasi oleh warga negara asing sehingga lebih memudahkan untuk menarik target pasar dari luar negeri, meskipun pemasaran yang dilakukan hanya word of mouth selain digital marketing melalui social media.

Paparan berikutnya disampaikan oleh dr. Ivan Rizal Sini, MD, FRANZCOG, GDRM, MMIS, Sp.OG yang membahas kesiapan SDM tenaga medis dan kesehatan Indonesia dalam membangun keunggulan wisata medik di Indonesia. Industri layanan medik dapat diidentifikasi menggunakan pendekatan Business Model Canvas, dimana value proposition yaitu layanan medis, harus didukung dengan target pasar yang sesuai. Dalam hal ini, upaya peningkatan kesiapan SDM dilakukan dengan konsep long term investment yaitu pendidikan dan pelatihan meliputi pendidikan kedokteran, kerjasama dengan lembaga sertifikasi internasional, pelatihan bahasa asing, serta peningkatan soft skill. Selain itu, standarisasi kompetensi juga dilakukan dengan dukungan insentif dan fasilitas.
Rekomendasi untuk pengembangan layanan medical tourism yang dapat dilakukan di Indonesia diantaranya menentukan target pasar, menentukan keunggulan produk, investasi SDM, kolaborasi dengan stakeholders, akreditasi internasional, serta promosi terintegrasi. Namun, pengembangan layanan medical tourism tersebut tentunya tak lepas dari tantangan, diantaranya yaitu karena kurangnya kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap dokter di Indonesia, serta rasio jumlah dokter terhadap layanan yang tersedia masih kurang, sehingga masalah mengakibatkan banyaknya antrian untuk layanan tertentu dan masih banyaknya pasien yang berobat ke luar negeri.

Dr. dr. Reza Y. Purwoko, Sp.D.V.E, FINSDV, FAADV selanjutnya membahas tantangan Indonesia dalam regulasi dan riset inovasi biomedik, dimana saat ini wisata medik merupakan sebuah peluang besar yang dapat dimanfaatkan, namun masih memiliki kebocoran. Hal ini harus dilakukan dengan menahan WNI yang ada agar mau mendapatkan layanan medik tetap di Indonesia, tentunya harus diiringi untuk berusaha menarik pasien asing. Riset biomedik menghasilkan banyak inovasi produk unggul yang bisa dipasarkan untuk masyarakat luas. Selain itu, terapi berbasis sel punca juga merupakan salah satu terobosan riset biomedik yang cukup sukses di Indonesia dengan aplikasi klinis untuk terapi orthopedi dan kanker. Pengobatan berbasis kearifan lokal juga mulai banyak dikembangkan oleh karena pemanfaatan sumber daya herbal yang beragam di Indonesia. Teknologi diagnostik inovatif menggunakan AI juga sudah dikembangkan untuk deteksi dini penyakit tropis.
Strategi diferensiasi dengan dukungan ekosistem yang tepat, substitusi produk dengan inovasi yang berkualitas diharapkan dapat menahan pasar domestik dan menarik pasar internasional. Namun, beberapa inovasi tersebut masih memiliki tantangan regulasi yang kompleks sehingga mungkin dapat menghambat akses layanan. Hambatan tersebut dapat diatasi dengan beberapa strategi diantaranya ekosistem inovasi, peningkatan kompetensi tenaga medis, meningkatkan pemasaran internasional, serta mengembangkan model bisnis inovatif. Model tersebut didasarkan pada nilai layanan sehingga mampu untuk berkompetisi dan dapat meningkatkan kepercayaan dari pasien. Harapannya pengembangan inovasi biomedik di Indonesia dapat didukung dengan regulasi mulai jangka pendek, jangka menengah, hingga jangka panjang.

Paparan terakhir dari dr. Andry Edwin Dahlan menjelaskan bagaimana strategi Singapura untuk menarik wisatawan medis. Saat ini telah ada komunitas Global Health Tourism Assistance, dimana salah satu kegiatannya yaitu mengembangkan pengobatan herbal dengan memanfaatkan sumber daya yang melimpah di Indonesia serta pemanfaatan marine untuk kesehatan di Kepulauan Seribu. Alasan mengapa masyarakat Indonesia lebih memilih layanan kesehatan yang ada di Singapura karena layanan kesehatan tersebut berfokus pada kualitas dan standar yang tinggi, kredibilitas dan kompetensi dokter dan staf kesehatan, hingga komunikasi efektif. Strategi Singapura dalam menarik wisatawan medis dimulai dari tahun 2003, dimana saat itu Singapura ditetapkan sebagai negara tujuan wisata medis dunia yang berujung pada pembentukan Singapore Medicine. Selain itu, Singapura juga telah menjalin kemitraan dengan Universitas asing, seperti Duke University dan NTU, serta kolaborasi dengan Imperial College untuk perhotelan dan penelitian.
Dalam bidang penelitian dan pengembangan, telah dialokasikan 10 juta dollar dengan pengeluaran sebesar 7 juta dollar selama 20 tahun. Peningkatan ini termasuk signifikan dibanding dengan tahun sebelumnya, yaitu target 10 juta dollar untuk seluruh periode 20 tahun. Berdasarkan contoh pengembangan layanan yang telah dilakukan oleh Singapura, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengembangan layanan wisata medik harus mendapatkan dukungan regulasi yang kuat, terdapat peta jalan untuk pengembangan layanan, identifikasi skema pendanaan, berfokus pada inovasi dan penelitian pengembangan, kolaborasi lintas sektor serta sistem penyediaan layanan ganda (publik – swasta).

Sesi diskusi dipandu oleh Ardantya Syahreza dengan pertanyaan bagaimana mengenalkan RS ke kancah Internasional dan bagaimana tahapan awal yang dilakukan. Hermes menjelaskan bahwa untuk mengenalkan ke internasional harus didukung oleh wilayah yang strategis dengan banyak kunjungan warga asing serta pengenalan brand ke pasar luar negeri. Selain itu, kekuatan internal didapatkan dengan penguasaan bahasa asing oleh seluruh SDM. Ivan menjelaskan bahwa identifikasi pasar harus disesuaikan sehingga pasar tersebut relevan dengan layanan yang diberikan. Kemudian untuk dapat berkolaborasi dengan Kemenkes, Laksono menjelaskan bahwa volume kunjungan layanan preventif lebih besar daripada layanan kuratif, sehingga momentum tersebut membutuhkan dukungan kolaborasi dengan Kemenparekraf. Selain itu, dukungan stakeholders seperti Pemda setempat juga dibutuhkan. (Bestian Ovilia Andini)